Pages

Subscribe:

Labels

Minggu, 04 April 2010

GEOLOGI REGIONAL BANTIMALA

Geologi Regional Daerah Bantimala

II.1 Geomorfologi regional

Secara regional daerah penelitian termasuk mandala Sulawesi barat berada pada lembar pangkajenne dan watampone bagian barat Sulawesi selatan ( Rab. Sukamto,1975 )
Terdapat du pengunungan yang memanjang hamper sejajr dengan daerah utara-barat laut yang dipisahkan oleh lembah sungai wallanae. Pengunungan di bagian barat menempati hamper setengah luasan daerah , melebar dibagian selatan menyempit di bagian utara. Puncak tertingginya 994 meter. Pembentuknya sebagian besar merupakan batuan gunung api. Di lereng barat dan beberapa lereng dibagian timur terdapat topografi karst yang mencerminkan adanya batugamping. Di lereng barat terdapat perbukitan yang dibentuk oleh batuan Pra-tersier. Pegunungan di bagian barat daya dibatasi oleh daratan pangkajenne maros yang luasannya sebagai lanjutan daratan dari selatan.
Pengunungan dibagian timur relatif lebih rendah dan sempit, dengan ketinggian rata-rata 700 meter dengan puncak tertinggi adalah 787 meter. Batuan penyusunnya juga sebagian besar adalah batuan gunungapi. Bagian selatannya mele4bar dan meninggi, dan keutaranya menyempit dan merendah dan akhirnya menujam kebawah antara lembah wallanae dan daratan bone yang sanygat luas. Bagian utara pegunungan ini bertopografi karst yang permukaannya berkerucut. Batasnya di timur laut adalah daratan bone.
Lembqh wallanae memisahkan dua pengunungan ini dibagian utara sebesar 35 kilometer , tetapiu bagian selatan hanya 10 kilometer saja. Bagian tengah dari sungai wallanae mengalir keutara, bagian selatan merupakan perbukitan rendah dan bagian utara terdapat daratan alluvial yang sangat luas ( Rab. Sukamto 1982).

II.2 Stratigrafi regional

Perkembangan evolusi geologi pulau Sulawesi dapat dibedakan menjadi empat jalur tektonik ( simanjuntak ,1966 ) , jalur continental banggai-sula , meliputi sualwesi bagian timur dan Sulawesi bagian tengah , jalur vulkanik dan plutonik meliputi daerah sulawesi utara. Sulawesi tengah bagian barat dan Sulawesi selatan. Jalur vulkanik plutonik identik dengan dengan mandala Sulawesi barat yang dikemukakan oleh ( rab. Sukamto,1982 ).
Stratigrafi mandala Sulawesi barat bagian selatan menurut ( rab. Sukamto,1982 ) merupakan kelompok batuan tua yang umurnya belum diketahui dengan pasti yang terdiri dari batuan ultrabasa, batuan malihan dan batuan-batuan mélange. Batuan terbreksisasi , tergerus dan mendaun, dan sentuhannya denga formasi di sekitarnya berupa sesar dan ketidak selarasan . penarikan radiometri pada sekis menunjukkan umur 111 juta tahun memungkinkan menunjukkan peristiwa malihan akhir pada tektonik yang terjadi pada zaman kapur .

batuan ini terdih dan tidak selaras oleh endapan flish formasi ballang baru dan formasi marada yang tebalnya kira-kira 2000 meter danberumur kapur akhir. Kegiatan magma pada saat itu sudah mulai ada dengan bukti adnay sisipan lava pada endapan flysh.
Batuan gunung api berumur pleosen yang diendapakan pada lingkungan laut menindih tidak selaras batuan flich yang berumur kapur akhir . batuan sedimen formasi mallawa yang sebagian besar dicirikan oleh endapan daratan dengan sisipan batubara , menindih tidak selaras batuan gunungapi pleosen dan flich kapur akhir. Di atas formasi mallawa ini secara berangsur-angsur beralih keendapan karbonat formasi tonasa terbentuk secara terus-menerus dari eosin awal sampai pada bagian bawah miosen tengah di barat. Sedimen klastik formasi salo kalumpang yang berumur eosen sampai oligosen bersisipkan batuan gamping dan mengatasi batuan gunungapi kala miosen awal di timur.
Sebagian besar pengununagn , baik yang berada di timur barbatuan gunungapi soppeng yang juga diduga berumur miosen tengah sampai plistosen awal berselingan dengan batuan gunung api yang berumur antara 8,93 – 9,20 juta tahun. Secara bersamaan batuan tersebut menyusun formasi camba yang tebalnya sekitar 5000 meter. Sebagian besar pegunungan yang di barat terbentuk dari formasi camba. Ini yang menindih tidak selaras formasi tonasa.
Selama miosen awal sampai pliosen , didaerah yang sekarang menjadi lembah wallanae diendapakan sedimen kalstik formasi wallanae. Batuan ini tebalnya sekitar 4500 meter.

II.3 Struktur geologi regional

Hide, dkk (1967,1977) dalam Sukamto (1985) mengemukakan bahwa gerakan lempeng pasifik ke arah terjadi pada Miosen Awal, sehingga berbagai mikrokontinen di Indonesia bagian Timur makin terdorong ke barat mendekati sistem busur palung sulawesi. Pada Miosen Tengah gerakan ke barat tersebut menyebabkan mikrokontinen Banggai-Sula dan Tukang Besi membentur busur Sulawesi Timue, dan Busur Sulawesi Timur melewati sistem busur-palung Sulawesi Barat.
Van Leeuwen (1979), menerangkan bahwa pola struktur Lengan Selatan Pulau Sulawesi, yaitu struktur sesar Walanae, searah dengan sesar geser Palu Koro di Sulawesi Tengah. Sesar Walanae terbagi dua yaitu sesar Walanae Barat dan sesar Walanae Timur yang terbentuk pada Kala Plio – Plistosen.
Rab Sukamto (1982), berpendapat bahwa kegiatan tektonik pada Kala Miosen Awal menyebabkan terjadinya permulaan terban Walanae yang memanjang dari utara ke selatan pada Lengan Sulawesi bagian barat. Struktur sesar berpengaruh terhadap struktur geologi sekitarnya. Tekronik ini menyebabkan terjadinya cekungan tempat terbentuknya Formasi Walanae.
Peristiwa ini kemungkinan besar berlangsung sejak awal Miosen Tengah, dan menurun perlahan selama sedimentasi sampai Kala Pliosen. Menurunnya Terban Walanae dibatasi dua sistem sesar normal, yaitu sesar Walanae yang seluruhnya nampak hingga sekarang di sebelah timur, dan sesar Soppeng yang hanya tersingkap tidak menerus di sebelah barat.
Selama terbentuknya Terban Walanae, di Timur kegiatan gunungapi terjadi hanya di bagian selatan, sedangkan di barat terjadi kegiatan gunungapi yang merata dari selatan ke utara, berlangsung dari Miosen Tengah sampai Pliosen. Bentuk kerucut gunungapi masih dapat dia amati di daerah sebleh barat ini, suatu tebing melingkar mengelilingi G. Benrong, di utara G. Tondongkarambu, mungkin merupakan suatu sisa kaldera.
Sesar utama yang berarah Utara – Baratlaut terjadi sejak Miosen Tengah, dan tumbuh sampai setelah Pliosen. Perlipatan yang berarah hampir sejajar dengan sesar utama diperkirakan terbentuk sehubungan dengan adanya tekanan mendatar berarah kira-kira Timur Barat pada waktu sebelum akhir Pliosen. Tekanan ini mengakibatkan pula adanya sesar sungkup lokal yang mengsesarkan batuan Pra-Kapur Akhir di daerah Bantimala ke atas batuan Tersier. Perlipatan dan pensesaran yang relatif lebih kecil di bagian Timur Lembah Walanae dan di bagian Barat pegunungan yang berarah Baratlaut – Tenggara, kemungkinan besar terjadi akibat adanya gerakan mendatar tekanan sepanjang sesar besar.

0 komentar:

Posting Komentar